Frans Kaisiepo, Simbol Perjuangan Rakyat Papua

Frans Kaisiepo, pria kelahiran Wardo, Biak, pada 10 Oktober 1921 merupakan sosok yang sangat berjasa dalam menyatukan Papua dengan Indonesia. Namanya mungkin terdengar asing bagi sebagian besar orang di Indonesia. Namun, di Papua, beliau yang merupakan gubernur provinsi papua yang keempat adalah pahlawan yang tak kenal gentar dalam melawan kependudukan Belanda di tanah Papua.

 

Tahun 1945

Perjuangannya untuk tanah papua sangatlah besar diantaranya Pada 31 Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk salah satu orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan orang pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di Papua.

Tahun 1946

Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea dan satu-satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Ia menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku dan menjadikan Papua bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). Frans bersikeras bahwa wilayah Papua seharusnya dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri daripada dipimpin oleh orang lain. Frans juga mengusulkan agar nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan ‘Irian’ yang berasal dari bahasa asli Biak yang berarti “Cahaya yang mengusir kegelapan”. Hal ini dilatar belakangi oleh kata Papua yang merupakan awalnya merupakan sebutan pua-pua yang artinya “keriting”. Frans merasa bahwa sebutan ini merendahkan orang-orang lokal Papua dan berkehendak untuk menghentikan sebutan itu. Kata Irian kemudian dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands”.

Perjuangan Frans Kaisiepo di bidang politik terus berlanjut. Pada tahun 1946, Ia mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak. Frans terus memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua meski Indonesia telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya. Karena perlawanannya, dia dipenjarakan oleh belanda dari tahun 1954 hingga 1961.

Tahun 1961

Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang bertujuan untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia. Pada tahun yang sama, Presiden Soekarno membentuk Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961. Melalui ISI, Frans membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika. Hasil utama dari Trikora adalah Perjanjian New York pada tanggal 1 Mei 1963 yang memutuskan bahwa wilayah Papua dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke Indonesia. Pemerintah RI kemudian menggunakan nama warisan dari Frans Kaiseipo, yaitu Irian Barat (Pada tahun 1969 berganti menjadi “Irian Jaya” kemudian berganti nama menjadi Papua pada tahun 2001).

Tahun 1973

Atas upayanya mempersatukan Papua dengan Indonesia, ia terpilih menjadi anggota parlemen untuk Papua pada pemilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1973 dan diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1977 sebagai wakil untuk urusan Papua.

 

Tahun 1979

Frans meninggal dunia pada 10 April 1979 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak.

 

Atas jasa-jasanya kepada negara Indonesia, Frans Kaisiepo dianugerahi penghargaan Bintang Maha Putra Adi Pradana Kelas Dua. Selain itu, nama Frans Kaisiepo juga diabadikan menjadi salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut, KRI Frans Kaisiepo dengan nomor seri 368 dan bandar udara internasional di Pulau Biak, Papua. Penghargaan setinggi-tingginya diberikan kepada Frans Kaisiepo Pada tahun 1993, Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993 nama Frans Kaisiepo ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Papua dan potret dirinya dipajang dalam lembaran uang rupiah emisi 2016 bernilai Rp10.000,00.